Minggu kemarin aku baru saja mendapatkan informasi dari milist tentang kesempatan untuk mengajar SD selama satu tahun di daerah-daerah terpencil yang kekurangan guru. Program tersebut merupakan bagian dari gerakan Indonesia Mengajar yang digagas oleh Anis Baswedan. Aku sangat tertarik dengan program ini dan mulai menyusun beberapa rencana kedepan. Aku berharap saat kembali lagi ke "kota" aku dapat membangun relasi dengan berbagai pihak untuk bersama-sama mencari solusi guna membantu masyarakat di daerah terpencil yang membutuhkan. Aku ingin mememanfaatkan penggunaan IT khusunya e-learning dan digital library sebagai salah satu upaya percepatan pemerataan pendidikan di Indonesia. Meskipun demikian aku sadar butuh waktu bertahun-tahun untuk dapat merealisasikan hal tersebut karena terkait dengan biaya dan berbagai faktor penunjang lainnya.
Aku sempat berdiskusi dengan seorang teman yang berasal dari Kalimantan tentang rencana memasukan IT ke daerah-daerah terpencil di Indonesia. Tahu apa komentar beliau?? begini komentarnya: "Yana, dalam waktu 10 tahun kedepan mungkin baru bisa masuk listrik, jadi penerapan IT untuk dunia pendidikan mungkin baru bisa terealisasi 20 tahun kedepan". Aku kaget mendengar jawaban tersebut. Separah itukah keadaan di daerah? Sebegitu timpangkah kondisi di pulau Jawa dengan di daerah lain?. Hmmm... jadi semakin tertarik untuk pergi, tinggal mendiskusikan dengan keluarga boleh tidaknya aku ikut program ini....
Saat berkunjung ke tempat kakak, ibuku juga sedang berada disana. Aku lantas membicarakan keinginanku untuk mengajar di daerah terpencil selama satu tahun. Beliau kemudian memberikan beberapa pandangan. Ibu sama sekali tidak melarangku untuk pergi, tapi dari apa yang diungkapkan aku jadi tahu kalau sebenarnya untuk saat ini ibu lebih senang jika aku tetap berada di pulau Jawa.
Hari ini adalah hari terakhir pendaftaran mengajar dan aku masih memiliki keinginan untuk pergi kesana. Tapi setelah berpikir ulang dan mempertimbangkan hasil diskusi kemarin, sepertinya keinginanku harus tertunda. Aku memutuskan untuk tidak jadi pergi karena masih ada banyak hal yang harus aku kerjakan disini. Meskipun tidak jadi pergi, namun kejadian ini semakin memantapkan langkahku untuk tetap berada di dunia pendidikan. Meskipun tidak jadi pergi, aku akan meneruskan mimpi itu dengan cara dan bentuk yang berbeda. Semoga tercapai. Amiiin.
Jumat, 30 Juli 2010
Mengajar di Daerah Terpencil
Menemukan Ilmu
Lanjutan dari postingan sebelumnya yang merupakan bagian dari presentasi prof Arief Rachman di acara Wajah Muslim Indonesia Chapter3....
Untuk dapat mencapai 5 kriteria kesuksesan pendidikan terdapat beberapa perubahan yang perlu dilakukan, salah satunya adalah merubah tujuan pembelajaran dari menguasai ilmu menjadi menemukan ilmu. Ini topik yang paling saya sukai. Sekilas terlihat mudah, tapi pada kenyataannya diperlukan sebuah kreativitas bagaimana memberikan stimulus kepada peserta didik sehingga mereka dapat menemukan sebuah ilmu. Pak Arief memberikan contoh, di suatu sekolah pada saat pelajaran biologi (IPA) seorang guru membawa setumpuk kacang-kacangan dan meminta setiap murid untuk mengambil masing-masing sebanyak satu genggam. Setelah semua murid mendapatkan kacang-kacangan tersebut kemudian terjadilah dialog antara guru dengan murid-muridnya, begini kira-kira dialognya:
Guru: Anak-anak, sekarang coba kelompokan kacang yang kalian miliki (dalam hal ini kacang yang terlihat sama dijadikan satu kelompok).
Murid: iya bu guru...
Guru: sudah semuanya?
Murid: sudah bu...
Guru: Sekarang siapa yang mau menceritakan kepada ibu apa yang kalian lihat?
(Salah seorang murid kemudian mengangkat tangannya, anggap saja murid itu bernama Jojo, sebab aku lupa nama aslinya)
Jojo: Saya Bu guru..... (sambil mengacungkan jarinya)
Guru: Baiklah Jojo... silahkan maju ke depan. Apa yang kamu temukan.
Jojo: Ada kacang yang bisa dibelah dan ada kacang yang tidak bisa dibelah (bijinya satu)
Guru: Iya benar... pintar sekali Jojo... Kacang yang dapat dibelah (berbiji dua) disebut dikotil, dan kacang yang tidak dapat dibelah (berbiji satu) di sebut monokotil.
Guru: Jadi ingat-ingat ya... tumbuhan yang berbiji dua disebut diko...til dan tumbuhan yang berbiji satu disebut monoko..til (kenapa saya tulis diko..til dan monoko..til karena guru tersebut menyebutkan kata-kata dikotil dan monokotil dengan sebuah intonasi dan gaya yang jenaka tapi mudah diingat).
Sepulang sekolah Jojo terus mengulang2 menyebutkan istilah tersebut dengan intonasi dan gaya yang dicontohkan gurunya tadi..
Sebuah cerita yang sangat menginspirasi diriku. Bagaimana seorang guru dapat menggiring muridnya untuk menemukan sebuah ilmu, bukan sekedar menguasai ilmu. Aku setuju dengan prof Arief rahman jika menemukan ilmu memang lebih penting daripada sekedar menguasai ilmu, karena tentu saja hal ini berkaitan dengan seberapa lama dia dapat mengingat dan seberapa jauh dia dapat memahami sebuah ilmu. Lihat bagaimana Jojo bisa menemukan sendiri kalau ada biji-bijian yang bisa dibelah dan ada yang tidak bisa dibelah. Ini tentu akan terus dia ingat dalam jangka waktu yang lebih lama dibandingkan jika Jojo tahu tentang monokotil dan dikotil hanya sekedar dari buku atau mendengarkan gurunnya. Dengan menguasai ilmu, seorang anak mungkin bisa menjelaskan dengan lancar definisi dikotil dan monokotil karena dia hafal, tapi itu tidak menjadi jaminan kalau dia memahami maknanya. Lihat berapa banyak orang yang hanya jago teori tapi tidak dalam implementasi di dunia riil. Hal ini terjadi karena mereka sebenarnya tidak memahami untuk apa atau mengapa ilmu itu ada? Bagaimana jika ilmu itu tidak ada?
Cerita diatas mengingatkanku saat sedang mengajarkan matematika diskrit kepada mahasiswa yang bukan anak matematika. Melihat latar belakang mereka yang beragam, maka langkah pertama yang aku lakukan di awal semester adalah memberikan sugesti kalau matematika itu mudah dan menyenangkan. Hal ini perlu ku lakukan karena banyak dari mereka yang alergi matematika dan rata-rata mengambil mata kuliah ini memang karena termasuk mata kuliah wajib, jadi bukan karena benar-benar berminat. Aku ingat bagaimana susahnya mengajarkan kepada mereka membuktikan sebuah teorema. Sebenarnya bagiku dan mungkin bagi sebagian besar anak matematika membuktikan merupakan hal yang sangat menyenangkan, tapi ternyata tidak bagi kebanyakan mahasiswaku. Dari sekian topik yang aku ajarkan, justru materi ini yang paling memeras otakku. Ini terjadi karena untuk membuktikan satu hal diperlukan definisi, teorema, lema, dan dalil-dalil penunjang lainnya sehingga pembuktian tersebut bisa dikatakan valid. Masalahnya pada kuliah kali ini terdapat sekitar 10 teorema dasar yang harus mereka pahami. Aku mencoba memberikan ilustrasi-ilustrasi yang menurutku dapat membantu mereka dalam memahami dan mengingat teorema-teorema tersebut. Aku menggunakan ilustrasi ini karena dengan cara inilah dulu aku dapat memahami sebuah teorema tanpa harus menghafal (karena aku termasuk orang pelupa). Tapi sepertinya mereka masih mengalami kesulitan. Jadi jangankan untuk membuktikan, kerangka dasarnya saja mereka belum menguasai. Hupf... sekarang aku jadi berpikir mungkin teknik yang aku terapkan salah... mungkin teknik ini tidak sesuai untuk mereka. Sepertinya aku ingin mencoba menerapkan ide "discovery science" diatas. Hmmm... gimana caranya ya.... masih berpikir... kalau sudah ketemu idenya mungkin aku tulis di postingan selanjutnya...
.
Untuk dapat mencapai 5 kriteria kesuksesan pendidikan terdapat beberapa perubahan yang perlu dilakukan, salah satunya adalah merubah tujuan pembelajaran dari menguasai ilmu menjadi menemukan ilmu. Ini topik yang paling saya sukai. Sekilas terlihat mudah, tapi pada kenyataannya diperlukan sebuah kreativitas bagaimana memberikan stimulus kepada peserta didik sehingga mereka dapat menemukan sebuah ilmu. Pak Arief memberikan contoh, di suatu sekolah pada saat pelajaran biologi (IPA) seorang guru membawa setumpuk kacang-kacangan dan meminta setiap murid untuk mengambil masing-masing sebanyak satu genggam. Setelah semua murid mendapatkan kacang-kacangan tersebut kemudian terjadilah dialog antara guru dengan murid-muridnya, begini kira-kira dialognya:
Guru: Anak-anak, sekarang coba kelompokan kacang yang kalian miliki (dalam hal ini kacang yang terlihat sama dijadikan satu kelompok).
Murid: iya bu guru...
Guru: sudah semuanya?
Murid: sudah bu...
Guru: Sekarang siapa yang mau menceritakan kepada ibu apa yang kalian lihat?
(Salah seorang murid kemudian mengangkat tangannya, anggap saja murid itu bernama Jojo, sebab aku lupa nama aslinya)
Jojo: Saya Bu guru..... (sambil mengacungkan jarinya)
Guru: Baiklah Jojo... silahkan maju ke depan. Apa yang kamu temukan.
Jojo: Ada kacang yang bisa dibelah dan ada kacang yang tidak bisa dibelah (bijinya satu)
Guru: Iya benar... pintar sekali Jojo... Kacang yang dapat dibelah (berbiji dua) disebut dikotil, dan kacang yang tidak dapat dibelah (berbiji satu) di sebut monokotil.
Guru: Jadi ingat-ingat ya... tumbuhan yang berbiji dua disebut diko...til dan tumbuhan yang berbiji satu disebut monoko..til (kenapa saya tulis diko..til dan monoko..til karena guru tersebut menyebutkan kata-kata dikotil dan monokotil dengan sebuah intonasi dan gaya yang jenaka tapi mudah diingat).
Sepulang sekolah Jojo terus mengulang2 menyebutkan istilah tersebut dengan intonasi dan gaya yang dicontohkan gurunya tadi..
Sebuah cerita yang sangat menginspirasi diriku. Bagaimana seorang guru dapat menggiring muridnya untuk menemukan sebuah ilmu, bukan sekedar menguasai ilmu. Aku setuju dengan prof Arief rahman jika menemukan ilmu memang lebih penting daripada sekedar menguasai ilmu, karena tentu saja hal ini berkaitan dengan seberapa lama dia dapat mengingat dan seberapa jauh dia dapat memahami sebuah ilmu. Lihat bagaimana Jojo bisa menemukan sendiri kalau ada biji-bijian yang bisa dibelah dan ada yang tidak bisa dibelah. Ini tentu akan terus dia ingat dalam jangka waktu yang lebih lama dibandingkan jika Jojo tahu tentang monokotil dan dikotil hanya sekedar dari buku atau mendengarkan gurunnya. Dengan menguasai ilmu, seorang anak mungkin bisa menjelaskan dengan lancar definisi dikotil dan monokotil karena dia hafal, tapi itu tidak menjadi jaminan kalau dia memahami maknanya. Lihat berapa banyak orang yang hanya jago teori tapi tidak dalam implementasi di dunia riil. Hal ini terjadi karena mereka sebenarnya tidak memahami untuk apa atau mengapa ilmu itu ada? Bagaimana jika ilmu itu tidak ada?
Cerita diatas mengingatkanku saat sedang mengajarkan matematika diskrit kepada mahasiswa yang bukan anak matematika. Melihat latar belakang mereka yang beragam, maka langkah pertama yang aku lakukan di awal semester adalah memberikan sugesti kalau matematika itu mudah dan menyenangkan. Hal ini perlu ku lakukan karena banyak dari mereka yang alergi matematika dan rata-rata mengambil mata kuliah ini memang karena termasuk mata kuliah wajib, jadi bukan karena benar-benar berminat. Aku ingat bagaimana susahnya mengajarkan kepada mereka membuktikan sebuah teorema. Sebenarnya bagiku dan mungkin bagi sebagian besar anak matematika membuktikan merupakan hal yang sangat menyenangkan, tapi ternyata tidak bagi kebanyakan mahasiswaku. Dari sekian topik yang aku ajarkan, justru materi ini yang paling memeras otakku. Ini terjadi karena untuk membuktikan satu hal diperlukan definisi, teorema, lema, dan dalil-dalil penunjang lainnya sehingga pembuktian tersebut bisa dikatakan valid. Masalahnya pada kuliah kali ini terdapat sekitar 10 teorema dasar yang harus mereka pahami. Aku mencoba memberikan ilustrasi-ilustrasi yang menurutku dapat membantu mereka dalam memahami dan mengingat teorema-teorema tersebut. Aku menggunakan ilustrasi ini karena dengan cara inilah dulu aku dapat memahami sebuah teorema tanpa harus menghafal (karena aku termasuk orang pelupa). Tapi sepertinya mereka masih mengalami kesulitan. Jadi jangankan untuk membuktikan, kerangka dasarnya saja mereka belum menguasai. Hupf... sekarang aku jadi berpikir mungkin teknik yang aku terapkan salah... mungkin teknik ini tidak sesuai untuk mereka. Sepertinya aku ingin mencoba menerapkan ide "discovery science" diatas. Hmmm... gimana caranya ya.... masih berpikir... kalau sudah ketemu idenya mungkin aku tulis di postingan selanjutnya...
.
Rabu, 28 Juli 2010
Arti Sebuah Senyuman
Alhamdulillah...
Terima kasih untuk hari ini ya Allah...
Seandainya aku tidak pernah kehilangan, maka senyum itu teramat biasa bagiku, tidak ada yang spesial. Semuanya menjadi sangat berarti setelah aku sempat kehilangan senyum itu. Dan kini senyum itu telah kembali... Semoga semuanya dapat berjalan baik seperti sedia kala. Amiiin...
Ternyata benar sesuatu akan terasa lebih berharga jika kita pernah kehilangan.
.
Terima kasih untuk hari ini ya Allah...
Seandainya aku tidak pernah kehilangan, maka senyum itu teramat biasa bagiku, tidak ada yang spesial. Semuanya menjadi sangat berarti setelah aku sempat kehilangan senyum itu. Dan kini senyum itu telah kembali... Semoga semuanya dapat berjalan baik seperti sedia kala. Amiiin...
Ternyata benar sesuatu akan terasa lebih berharga jika kita pernah kehilangan.
.
Rabu, 14 Juli 2010
Tolak Ukur Kesuksesan Pendidikan
Menurut Prof. Arief Rachman dalam presentasinya di acara Wajah Muslim Indonesia Chapter 3, pendidikan diakatakan sukses jika dapat memenuhi 5 kriteria, yaitu mampu membentuk pelajar menjadi seorang manusia yang bertakwa, berkepribadian matang, berilmu mutakhir dan berprestasi, mempunyai rasa kebangsaan, serta berwawasan global. Jika melihat fenomena yang ada sekarang sepertinya masih diperlukan usaha yang cukup besar agar seluruh kriteria diatas dapat terpenuhi. Kebanyakan orang hanya menggunakan "nilai formal" sebagai tolak ukur keberhasilan. Akibatnya mereka menghalalkan segala cara untuk memperoleh nilai setinggi-tingginya. Lihat saja bagaimana kebocoran yang terjadi pada soal UAN yang selalu berulang dari tahun ke tahun. Murid yang suka mencontek saja sudah menjadi masalah tersendiri yang harus dicari solusinya, sekarang malah ditambah dengan kelakuan para oknum yang memberikan bocoran jawaban. Sangat miris, harga diri seorang pendidik digadaikan hanya untuk deretan angka bernama nilai, hanya untuk mengejar prestise dengan label LULUS 100%. Begitulah yang terjadi jika hasil akhir yang menjadi tujuan, keberhasilan hanya menjadi topeng dari kebobrokan sebuah sistem.
Terkait dengan hal tersebut, saya mendapat cerita menarik dari seorang profesor tentang pengalamannya memimpin sebuah sekolah yang saat itu secara kualitas memang belum terlalu baik. Akan tetapi saat melihat hasil pengumuman UN ternyata murid-murid di sekolah ini lulus 100%. Hal tersebut tentu menimbulkan tanda tanya besar di dalam diri sang profesor. Dengan kualitas yang ada bagaimana bisa siswa di sekolah tersebut lulus 100%?? ada apa dengan sekolah ini??. Beberapa waktu kemudian beliau berkesempatan untuk memimpin sekolah tersebut. Salah satu langkah awal yang dilakukan adalah membuat slogan sekolah, yaitu jika nama sekolahnya disebut maka semua harus menjawab dengan kata "jujur". Beliau menekankan kepada para siswa bahwa kelulusan bukan menjadi tujuan utama. Yang terpenting adalah proses belajar yang mereka lalui, bukan hasil akhir. Beliau mengatakan tidak lulus tidak apa-apa, yang penting kita sudah berusaha maksimal. Tahu apa yang terjadi saat UN tahun berikutnya? terdapat sekitar 100 orang anak yang tidak lulus UN. Jika tingkat keberhasilan hanya diukur dari jumlah anak yang lulus tentu kita dapat mengatakan kalau sang profesor telah gagal. Tapi coba lihat lebih jauh, jika kelulusan pada tahun tersebut memang benar-benar murni tanpa adanya kecurangan maka saya berani mengatakan kalau beliau telah berhasil. Beliau berhasil mendidik tidak hanya murid tetapi seluruh pihak yang terkait bahwa untuk mencapai sesuatu diperlukan usaha keras dengan tetap menjunjung tinggi nilai-nilai moral. Beliau berhasil mendidik para siswa untuk menjadi manusia yang bermartabat. Beliau juga mampu mengesampingkan egonya sebagai seorang pemimpin untuk tidak terjebak dalam kata "berhasil" yang terkadang semu. Inilah keberhasilan yang sebenarnya. Mereka yang tidak lulus tetapi jujur tentu lebih mulia daripada orang-orang yang mengaku lulus padahal sebenarnya secara esensi mereka telah gagal. Kendati demikian mereka yang lulus dengan jujur tentunya jauuuuuh lebih baik lagi karena itu berarti setidaknya mereka telah memenuhi 3 dari 5 kriteria yang telah disebutkan diatas, yaitu bertakwa, berkepribadian matang, serta berilmu dan berprestasi.
.
Terkait dengan hal tersebut, saya mendapat cerita menarik dari seorang profesor tentang pengalamannya memimpin sebuah sekolah yang saat itu secara kualitas memang belum terlalu baik. Akan tetapi saat melihat hasil pengumuman UN ternyata murid-murid di sekolah ini lulus 100%. Hal tersebut tentu menimbulkan tanda tanya besar di dalam diri sang profesor. Dengan kualitas yang ada bagaimana bisa siswa di sekolah tersebut lulus 100%?? ada apa dengan sekolah ini??. Beberapa waktu kemudian beliau berkesempatan untuk memimpin sekolah tersebut. Salah satu langkah awal yang dilakukan adalah membuat slogan sekolah, yaitu jika nama sekolahnya disebut maka semua harus menjawab dengan kata "jujur". Beliau menekankan kepada para siswa bahwa kelulusan bukan menjadi tujuan utama. Yang terpenting adalah proses belajar yang mereka lalui, bukan hasil akhir. Beliau mengatakan tidak lulus tidak apa-apa, yang penting kita sudah berusaha maksimal. Tahu apa yang terjadi saat UN tahun berikutnya? terdapat sekitar 100 orang anak yang tidak lulus UN. Jika tingkat keberhasilan hanya diukur dari jumlah anak yang lulus tentu kita dapat mengatakan kalau sang profesor telah gagal. Tapi coba lihat lebih jauh, jika kelulusan pada tahun tersebut memang benar-benar murni tanpa adanya kecurangan maka saya berani mengatakan kalau beliau telah berhasil. Beliau berhasil mendidik tidak hanya murid tetapi seluruh pihak yang terkait bahwa untuk mencapai sesuatu diperlukan usaha keras dengan tetap menjunjung tinggi nilai-nilai moral. Beliau berhasil mendidik para siswa untuk menjadi manusia yang bermartabat. Beliau juga mampu mengesampingkan egonya sebagai seorang pemimpin untuk tidak terjebak dalam kata "berhasil" yang terkadang semu. Inilah keberhasilan yang sebenarnya. Mereka yang tidak lulus tetapi jujur tentu lebih mulia daripada orang-orang yang mengaku lulus padahal sebenarnya secara esensi mereka telah gagal. Kendati demikian mereka yang lulus dengan jujur tentunya jauuuuuh lebih baik lagi karena itu berarti setidaknya mereka telah memenuhi 3 dari 5 kriteria yang telah disebutkan diatas, yaitu bertakwa, berkepribadian matang, serta berilmu dan berprestasi.
.
Selasa, 13 Juli 2010
Last Time for The Right
No last time for the right when world still around and we still alive, because we never know about the future.
.
.
Langganan:
Postingan (Atom)